Delapan Bintang Jatuh di Desa Tertinggi di Pulau Jawa
Delapan Bintang Jatuh di Desa
Tertinggi di Pulau Jawa
Beginilah salah satu cara kami, @thislastpanama bersyukur dan
kagum pada ciptaan Allah S.W.T. Sebenarnya rencana keberangkatan jauh-jauh hari
sebelum UKK dan pergelaran, akan tetapi karena pentingnya acara tersebut, ketua
pelaksanaan yaitu Juang, mengundurnya. Akhirnya pada tanggal 9 Juni 2014 kami
berhasil sampai puncak desa tertinggi di Pulau Jawa, Sikunir.
Seperti yang sudah dijelaskan diartikel sebelumnya bahwa
kelas kami banyak anak pecinta alam, akhirnya mereka mengadakan suatu pendakian
kecil ke Sikunir, Dieng, Wonosobo.
Kami berkumpul disekolah pukul 13.00 tanggal 8 Juni 2014.
Sebelumnya anak-anak yang fix ikut ada 15 yaitu: juang, cahya, barkah, umam,
erwin, faizal, alfin, gilang, aziz, zuhri, cintya, tika, arima, riri dan tiwi.
Akan tetapi karena arima tidak mendapat restu orang tua dan riska jadi ikut
akhirnya kami tetap berlima belas. Masalah awal yang muncul adalah kendaraan,
awalnya kami sepakat akan naik mobil, ajeng dan ika ikut akan tetapi karena
suatu alasan akhirnya mobil tidak bisa dibawa, dan kami memutuskan untuk
menggunakan motor, ajeng dan ika tidak boleh ikut.
Tanggal 8 Juni 2014 pukul 13.00 kami berkumpul di depan
kelas, kami bersiap-siap berangkat, kami berangkat molor karena menunggu riska
yang masih di jalan, pukul 14.27 kami berangkat. Di kota kebumen perjalanan
masih lancar akan tetapi saat di wadaslintang, sesuatu terjadi dengan kami.
Kami berangkat bersama akan tetapi yang ada kami seperti sedang kebut-kebutan,
siapa cepat dia yang menang, yang depan cepat sekali dan yang belakang
tertinggal. Sampai saat di jalan yang jelek, tiba-tiba alfin mengerem mendadak
karena tidak melihat jalan, sontak zuhri yang membonceng tika berusaha
menghindar, zuhri menggunakan rem depan dan belakang akhirnya mereka jatuh
bersama, alhamdulillah luka tidak begitu parah, gilang yang berada dibelakang
kami mencoba menyusul teman yang di depan untuk kembali, aku memaksa tika untuk
mau memakai obat merah. Aku mengatakan kepada mereka, kita kesana bareng-bareng,
ini yang ada kaya main kebut-kebutan. Yang depan jangan cepet banget. Alfin
menambahkan, iya alon-alon bae sing penting tekan. Tika trauma dan minta
dibonceng Faizal.
Sejak kejadian itu, cahya sebagai petunjuk jalan memacukan
motor dengan kecepatan sedang. Kami berjalan beriringan, saling memberi tanda
apabila ada kendaraan besar di depan, atau ada lubang di jalan. Ya, pertama
kalinya merasakan kekompakan di jalan. Seringkali terdengar klakson berurutan
sebagai tanda hati-hati. Insiden kedua tiba-tiba motor yang dinaiki juang
bocor, tepat di depan kuburan yang sedang berlangsung penguburan jenazah tanpa
sadar kami mengklakson teman di depan dan memanggil-manggil akhirnya kami
ditegur dan kami maju sedikit.
Inilah alam, dan segala keindahan di dalamnya. Di perjalanan
kami disuguhkan tebing dan jurang curam di kanan dan kiri jalan. Pukul setengah
5 kami mulai memasuki jalan besar kami
memutuskan untuk salat ashar di pom bensin.
Setelah salat ashar perjalanan dilanjutkan, kami mulai
memasuki alun-alun wonosobo. Saatnya kami menuju Dieng, tujuan perjalanan kami.
Saat mulai memasuki kawasan Dieng, saat itu sudah hampir magrib, hawa dingin
mulai menembus kulit kami, motor kami melaju dikegelapan dan dinginnya malam,
sampai beberapa dari kami harus berhenti dan memakai sarung tangan karena
dinginnya seperti di lemari es. Pukul 18.30 kami berhenti untuk salat magrib
dijamak isya. Riska membuat energen anget, dibagikan ke semua. Lumayan
menghangatkan, setelah semua selesai salat kami berkumpul di depan masjid untuk
makan nasi kucing yang dibeli cahya, satu anak ambil dua katanya.
Perut terisi dan kami mulai melanjutkan perjalanan. Kira-kira
pukul 20.00 kami sampai di Desa Dikunir, medan untuk kesana lumayan jelek,
membuat kami pelan untuk ke desa itu.
Kami memarkirkan motor dan membawa semua peralatan ke tempat
camping, ya didekat rawa itu kami membangun dua buah tenda. Dengan dibantu oleh
pendaki lain karena tidak berhasil mendirikan tenda yang baru. Kemudian tikar
pun ditata. Dingin, dingin sekali di sana. Malamnya kami mulai menyalakan api
untuk membakar jagung. Berkali-kali erwin mencoba akan tetapi gagal, akhirnya
mencari kayu dan berusaha menyalakan lagi akan tetapi gagal terus padahal tenda
sebelah apinya menyala terang dan sedang bakaran sate, semetara di tenda kami
api tidak menyala-menyala. Dengan sedikit iseng atau memang sengaja, karena
spiritus tinggal sedikit akhirnya barkah meneteskan minyak kayu putih dan
jreeng, api mau menyala. Penemuan itu akhirnya dicoba beberapa kali dan api
menyala sementara spiritus tidak sengaja ketendang aku dan tumpah.
Satu persatu jagung mulai dibakar, jagung pertama enak akan
tetapi karena gelapnya malam, barkah tidak sengaja menginjak mentega. Semua
orang tertawa, akan tetapi tidak malu-malu karena lapar, jagung bakar cap kaki
barkah pun tetap masuk perut. Pukul 23 malam satu persatu dari kami mulai
tidur. Tiba-tiba tiwi menggigil, erwin meminjamkan jaket, memakaikan jaketnya,
dan memakaikan sleeping bag nya ke tiwi aku membantu menyelimutinya. Karena dia
mengatakan dingin, dingin aku dan riri mulai memeluknya. Tiwi bilang. “Ini
dinginnya dari dalem, nafasku berat.”
Akhirnya erwin, yang sudah terbiasa mendaki, ia memasakkan
jahe anget dan tiwi kupaksa meminum dengan sekejap tiwi tidak menggigil lagi.
Kami mulai tidur, pukul 02.00 pagi aku terbangun karena kedinginan. Tika
tiba-tiba memanggil anak laki-laki. “Matras ada aku kedinginan.” akan tetapi
saat itu tidak ada matras. Tika pun berteriak, kakiku gak bisa digerakin, dan
dia pun menangis. Aku yang bingung mau ngapain, akhirnya memanggil anak
laki-laki untuk membantu. Umam yang notabennya anak PMR langsung tanggap dan
memijat kaki tika. Riska juga memijat kakinya. Tika tak suruh minum air jahe
anget tidak mau, akhirnya aku, riri, tiwi keluar karena kata anak laki-laki di
luar tidak dingin, grrr dingin sekali ternyata tapi dingin itu terkalahkan
dengan ribuan bintang dilangit. Aku yang sangat suka memandang bintang
memutuskan untuk tiduran di luar sementara tika dihibur oleh juang dan alfin.
Nah karena aku tau jam jam seperti itu adalah waktu bintang mulai jatuh, aku
dan yang lain mulai menghitung bintang jatuh, sesekali terlihat bintang jatuh
aku menghitung sampai 8 bintang jatuh. Adzan subuh mulai berkumandang dan kami
memutuskan untuk segera bangun dan mulai mendaki. Kami membereskan semua
perlengkapan, dan mulai mendaki.
Medan Sikunir memang tidak sesulit pranji, bebatuan yang
tersusun rapi memudahkan kami memajat. Sesampainya dipuncak kami menunggu
matahari terbit. Dan yeah matahari bulat mulai menampakkan keindahannya. Bulat
sekali tidak pecah dan kami mulai mengabadikan momen ini dengan foto-foto.
Setelah itu kami mulai turun dari puncak, disekeliling terlihat bunga
eidelweis, lambang cinta abadi. Akan tetapi kata pecinta alam tidak boleh
memetiknya. Kami beranjak turun sampai dibawah jam setengah 8. Awalnya kami ada
rencana mampir telaga warna akan tetapi karena sudah lelah kami memutuskan
untuk pulang. Sebelum pulang, alfin mengatakan kepadaku. “Cin, nanti kalau udah
di kota tukeran ya sumpah aku ngantuk banget, ora turu.” Dan aku bilang ke
umam, suruh tetep dibelakangku kalo aku yang nyupir, karena aku tidak tahu
jalan.
Sebelum pulang kami beli stiker untuk anak satu kelas. Satu
persatu motor mulai melaju. Alfin, aku, umam, riri dibelakang. Dan kami mulai
memacu kendaraan kami. Ditengah jalan karena motor tiwi kalau majat kecepatan
turun jadi 0 akhirnya tiwi tukaran sama riri. Memasuki wonosobo kota aku dan
alfin tukaran posisi. Sesekali helm alfin menubruk helmku, dan hampir jatuh
kebelakang bahkan dia mengatakan kalau dia sampai bermimpi.
Saat memasuki jalan wadaslintang alfin sudah menyuruhku untuk
tukaran lagi tapi karena aku kasihan sama alfin, aku tetap menjadi sopir. Jalan
berkelok-kelok, lama-lama kantuk menyerang dan pusing, ya melihat jalan sepert
itu aku tak bisa fokus akan tetapi aku tetap berusaha mengendarainya. Dan
sampai akhirnya erwin, Faizal, cahya, juang berhasil menyalip bus dan aku yang
masih amatir di jalan seperti itu tidak bisa menyalip bus padahal serasa mau
kecekek gara-gara asap hitam keluar dari bus dan aku tepat dibelakangnya. Alfin
yang tidak tega mungkin akhirnya berganti posisi lagi. Setelah itu Umam izin
mau nyusul yang di depan. Ya alfin mulai ngebut mencari yang lain, ketemu
gilang, riri, sama zuhri. Kami berlima beriring berdampingan. Akan tetapi tak
seorangpun berhasil disalip. Dan saat dikebumen kota aku sms tiwi, dia
mengatakan bahwa umam ditilang waktu ngejar erwin dan aku gak tau ini dimana,
aku mengabari semua anak, dan aku pulang duluan. Umam, Tiwi sampai Prembun,
setelah menyelesaikan urusannya mereka kembali ke sekolah.
Inilah kebersamaan kami, kebersamaan yang tidak bisa dibeli
dengan apapun. Kami memang bukan kelas yang patut dibanggakan dalam prestasi
akan tetapi kami berusaha untuk bersatu dan bersama. Sampai jumpa dicerita
pengalamanku yang lain, bye-bye..
Salam Damai Indonesia,
@cintyadiptap
Komentar
Posting Komentar