Pengaruh Budaya Bacson-Hoabinh, Dongson dan Sa Hyunh terhadap Perkembangan Budaya Masyarakat Awal Indonesia
Pengaruh Budaya
Bacson-Hoabinh, Dongson dan Sa Hyunh terhadap Perkembangan Budaya Masyarakat
Awal Indonesia
1.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Di
Lembah Sungai Mekong terdapat dua pusat kebudayaan, yaitu Bacson Hoabinh dan
Dongson. Bacson adalah daerah pegunungan, sedangkan Hoabinh adalah daerah
dataran rendah. Keduanya terletak tidak jauh dari Teluk Tonkin. Kebudayaan ini
oleh Madame Madelene Colani, seorang ahli prasejarah dari Prancis dinamakan
kebudayaan Bacson Hoa-Binh. Peradaban mereka pada mulanya adalah peradaban
mesolithikum dengan hasil kebudayaannya berupa alat-alat yang baru diasah
bagian tajamnya saja. Alat mereka yang terkenal adalah Peble (kapak sumatera),
sedangkan manusia pendukungnya dari ras Papua Melanesoide. Baik kebudayaan
maupun manusia pendukung kebudayaan ini kemudian berkembang di kepulauan
Nusantara
http://melamaresta-mm.blogspot.com/2012/01/perkembangan-budaya-bacson-hoa-binh.html (Kamis, 31 Januari 2013, pukul 19.47)
Masuknya kebudayaan asing merupakan salah satu
faktor yang membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Kebudayaan tersebut yaitu Kebudayaan Dongson, Kebudayaan Bacson-Hoabich,
Kebudayaan Sa Huynh, dan Kebudayaan India. Kebudayaan Dongson, Kebudayaan
Bacson-Hoabinh, Kebudayaan Sa Huynh terdapat di daerah Vietnam bagian Utara dan
Selatan.
Masyarakat Dongson hidup
di lembah Sungai Ma, Ca, dan Sungai Merah, sedang masyarakat Sa Huynh hidup di
Vietnam bagian Salatan. Ada
pada tahun 40.000 SM- 500 SM. Kebudayaan tersebut berasal dari zaman
Pleistosein akhir. Proses migrasi ke tiga kebudayaan tersebut berlangsung
antara 2000 SM-300 SM. Menyebabkan menyebarnya migrasi berbagai jenis
kebudayaan Megalithikum (batu besar), Mesolitikum (batu madya), Neolithikum
(batu halus), dan kebudayaan Perunggu. Terdapat 2 jalur penyebaran
kebudayaan tersebut:
1.
Jalur
barat, dengan peninggalan berupa kapak persegi
2.
Jalur
Timur, dengan ciri khas peninggalan kebudayaan kapak lonjong. Pada zaman perunggu,
kapak lonjong ditemukan di Formosa, Filipina, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya.
Pusat kebudayaan zaman
Mesolithikum di Asia berada di dua tempat, yakni di Bacson dan Hoabinh. Kedua
tempat tersebut berada di Tonkin Vietnam. Penyebutan untuk ciri khas kebudayaan
zaman Mesolithikum diberikan oleh ahli Prasejarah Prancis, Madeleine Colani.
Dari Tonkin kebudayaan Bacson – Hoabinh menyebar ke wilayah Asia Tenggara
lainnya. Persebaran kebudayaan tersebut bersamaan dengan masa perpindahan
masyarakat di wilayah Vietnam ke Asia Tenggara. Ras yang masuk ke Indonesia
pada zaman Mesolithikum adalah ras Papua Melanosoid. Ras ini umumnya sekarang
bertempat tinggal di Papua.
Ras Papua Melanosoid sampai ke Indonesia pada zaman Holosen (Aluvium). Ras
Melanosoid datang ke Indonesia dengan menggunakan transportasi perahu bercadik.
Pada awalnya mereka mendiami Sumatera dan Jawa, namun karena terdesak oleh ras
Melayu yang datang kemudian. Mereka berpindah ke wilayah Indonesia Timur.
Ras Papua melanosoid
sudah hidup setengah menetap (semi-nomaden), hidup berburu, menangkap ikan dan
bercocok tanam. Mereka tinggal digua-gua atau di rumah panggung untuk
menghindar dari binatang buas. Mereka meninggalkan sampah dapur
(kjokkenmoddinger) digua-gua (abris sous roche). Kjokkenmoddinger juga dibuang
dibawah kolong rumah panggung mereka sehingga menumpuk dan menggunung. Disamping
itu juga ditemukan peralatan sehari-hari yang terbuang atau terjatuh, antara
lain:
•
Pebble adalah jenis kapak genggam mesolithikum
yang sering juga di sebut kapak sumatera.
•
Hache Courti (kapak pendek) yang mempunyai
bentuk bulat dan panjang.
•
Batu gilingan kecil yang berfungsi menggiling
makanan dan bahan pewarna untuk berhias.
•
Kapak proto-Neolithikum yang sudah halus
•
Pecahan tembikar
Manusia pada zaman mesolithikum juga sudah mengenal kesenian. Wujud seni ditemukan, pada umumnya berupa
lukisan seperti:
•
Lukisan
pada kapak berupa garis sejajar dan lukisan seperti mata yang ditemukan di kjokkenmoddinger.
•
Lukisan
babi-rusa yang banyak ditemukan digua-gua diwilayah Leang-leang Maros. Usia
lukisan itu diperkirakan 4 ribu tahun. Menurut penafsiran, diperkirakan lukisan
tersebut adalah lukisan magis yang mempunyai tujuan tertentu.
•
Lukisan
telapak tangan yang berwarna merah.
Pengaruh budaya Bacson
Hoabin ternyata berkembang sampai ke kepulauan nusantara. Hasil budayanya
seperti Peble (kapak Sumatera) dan alat-alat tulang. Jadi, kebudayaan Bacson
Hoabin adalah budaya zaman mesoliticum (zaman batu tengah). Dinamakan Bacson
Hoabin karena tempat penemuan kebudayaan ini berada di pegunungan di daerah
Hoabin Tonkin Indocina. Kebudayaan Bacson Hoabin masuk melalui Thailand Melayu
lalu menyebar ke Nusantara. Ciri khas alat batu kebudayaan Bacson Hoabin adalah
penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran kurang
satu kepalan, dan sering kali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam.
Di Indonesia, alat-alat batu dari kebudayaan Bacson Hoabin ditemukan di
daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua
(Irian Jaya).
Di daerah Jawa, alat-alat kebudayaan batu sejenis dengan kebudayaan Bacson
Hoabin ditemukan di daerah lembah sungai Bengawan Solo. Di samping
daerah-daerah di atas, maka kebudayaan ini juga ditemukan di pedalaman
Semenanjung Minahasa (Sulawesi Utara), Flores, Maluku Utara dan lain-lain.
a.
Sejarah
Awal Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun
10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini berlangsung pada
kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari
gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM
mengalami perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi
sebagai alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh
adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ±
1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil
penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat,
segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang.
Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam
posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini
diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia
berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua
tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson
Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine
Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan
alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi
permukaannya.
b.
Penyebaran Kebudayaan Bacson-Hoabinh ke Indonesia
Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan
perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan
timur (utara). Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di
pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang
kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal
sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum
sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras Papua ini
hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous
roche) dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras Papua Melanesoid
sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak
dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia. Kjokkenmoddinger adalah istilah yang
berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya
sampah jadi
Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau
tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah
membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger
ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan.
Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup
pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. VanStein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit
kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith)
sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di Pulau Sumatera.
Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang
dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga
ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang
disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya
dengan menggenggam. Di samping kapak-kapak
yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger
juga ditemukan pipisan (batu-batu
penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk
menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan cat
merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah.
Mengenai fungsi dari pemakaian cat merah tidak diketahui secara pasti,
tetapi diperkirakan bahwa cat merah dipergunakan untuk keperluan keagamaan atau
untuk ilmu sihir. Kecuali hasil-hasil
kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa
tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut
tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian
memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah
jenis Homo Sapiens. Manusia pendukung Mesolithikum adalah Papua Melanosoide.
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman
Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang
buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein
Callenfels tahun 1928-1931 di goaLawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa
tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu
pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta
alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Di antara alat-alat kehidupan yang
ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh
para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture/kebudayaan tulang dari
Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang
merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous
Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian
terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak
ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae
yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi
dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh
peneliti Fritz Sarasindan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih
ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman
prasejarah.Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut
kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum
yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.
Selain di Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian
terhadap goa tersebutdilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan
flakes dan ujungmata panah yang terbuat dari batu indah.
Ras Papua Melanesoid hidup masih
setengah menetap, berburu, dan bercocok tanam sederhana. Mereka hidup di gua
dan ada yang di bukit sampah. Manusia
yang hidup di zaman budaya Mesolitikum sudah mengenal kesenian, seperti lukisan
mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang (Sulawesi). Lukisan tersebut
memuat gambar binatang dan cap telapak tangan.
Mayat dikubur dalam gua atau bukit kerang dengan sikap jongkok, beberapa
bagian mayat diolesi dengan cat merah. Merah adalah warna darah, tanda hidup. Mayat diolesi warna merah dengan maksud agar dapat mengembalikan
kehidupannya sehingga dapat berdialog. Kecuali alat batu, juga ditemukan
sisa-sisa tulang dan gigi-gigi binatang
seperti gajah, badak, beruang, dan rusa. Jadi, selain mengumpulkan
binatang kerang, mereka pun memburu binatang-binatang besar.
Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The
Hoabinhian and after : Subsistance patterns in South East Asia during the
latest Pleistocene and Early Recent Periods (1971) menyatakan bahwa penemuan
alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu
kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan
Hoabinh.
Di samping alat-alat dari batu yang
berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat serpih, batu giling dari berbagai
ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa tulang belulang manusia yang dikubur
dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah.
Sementara itu, di daerah Vietnam
ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sejenis alat batu dari
kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai (dalam buku Pham Ly Huong ; Radiocarbon Dates
of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) ditemukan alat-alat batu yang sudah
diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut
diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu, kemudian dalam perkembangannya alat-alat dari
batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh tersebar dan berhasil
ditemukan hampir di seluruh daerah Asia Tenggara, baik darat maupun kepulauan,
termasuk wilayah Indonesia.
Di wilayah Indonesia, alat-alat batu
dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan pada daerah Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Di daerah Sumatera, alat-alat
batu sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan.
Benda-benda itu berhasil ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang yang
berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Lapisan kerang tersebut
diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada
daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang
dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai. Namun, ada
beberapa tempat penemuan yang pada saat sekarang telah berada di bawah
permukaan laut. Tetapi, kebanyakan tempat-tempat penemuan alat-alat dari batu
di sepanjang pantai telah terkubur di bawah endapan tanah, sebagai akibat terjadinya
proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa millennium yang baru.
Banyak benda-benda peralatan budaya
dari batu yang berhasil dikumpulkan oleh para ahli dari bukit sampah kerang di
Sumatera. Sebagian besar dari peralatan yang berhasil ditemukan berupa
alat-alat batu yang diserpih pada satu
sisi dengan lonjong atau bulat lonjong.
Pada daerah Jawa, alat-alat kebudayaan
batu sejenis dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh berhasil ditemukan di daerah
Lembah Sungai Bengawan Solo. Penemuan alat-alat dari batu ini dilakukan ketika
penggalian untuk menemukan fosil-fosil (tulang belulang) manusia purba.
Peralatan batu yang berhasil ditemukan memiliki usia jauh lebih tua dari
peralatan batu yang ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang di Sumatera. Hal
ini terlihat dari cara pembuatannya. Peralatan batu yang berhasil ditemukan di
daerah Lembah Sungai Bengawan Solo (Jawa) dibuat dengan cara sangat sederhana
dan belum diserpih atau diasah. Dimana batu kali yang dibelah langsung
digunakannya dengan cara menggenggam. Bahkan menurut Von Koenigswald
(1935-1941), peralatan dari batu itu digunakan oleh manusia purba di Indonesia
sejenis Pithecanthropus erectus. Dan juga berdasarkan penelitiannya,
peralatan-peralatan dari batu itu berasal dari daerah Hoabinh.
Di daerah Cabbenge (Sulawesi Selatan)
berhasil ditemukan alat-alat batu yang berasal dari kala Pleistosen dan
Holosen. Penggalian dalam upaya untuk menemukan alat- alat dari batu juga
dilakukan di daerah pedalaman sekitar Maros. Sehingga dari beberapa tempat
penggalian, berhasil menemukan alat-alat dari batu termasuk alat serpih
berpunggung dan mikrolit yang dikenal dengan Toalian. Alat-alat batu Toalian
diperkirakan berasal dari 7000 tahun lalu. Perkembangan peralatan dari batu
dari daerah Maros ini diperkirakan kemunculannya bertumpang tindih dengan
munculnya tembikar di kawasan itu.
Di samping daerah-daerah tersebut di
atas, peralatan batu kebudayaan Bacson-Hoabinh juga berhasil ditemukan pada
daerah-daerah seperti daerah pedalaman Semenanjung Minahasa (Sulawesi Utara),
Flores, Maluku Utara dan daerah-daerah lain di Indonesia.
c. Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia
1. Kapak
Genggam
Kapak genggam yang ditemukan di dalam
bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith)
sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Tahun
1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di
dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra
(Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra.
Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/11/pra-sejarah-mesolithikum-zaman-batu.html (Kamis, 31 Januari 2013 pukul 20.32)
2. Kapak Dari Tulang dan Tanduk
Di
sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan
kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang
tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada
sisinya. Adapun fungsi darialat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan
keladi dari dalam tanah, serta menangkapikan.
3. Flakes
Flakes berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong (Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi),Wangka, Soa, Mangeruda (Flores).
4. Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter
sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di
Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat
penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan
permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis
pantai. Namun, ada beberapa tempat penemuan yang pada saat sekarang telah
berada di bawah permukaan laut. Tetapi, kebanyakan tempat-tempat penemuan
alat-alat dari batu di sepanjang pantai telah terkubur di bawah endapan tanah,
sebagai akibat terjadinya proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa
millennium yang baru. Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble,
kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur
barat. Sedangkan kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia melalui
jalur timur.
d. Pengaruh Kebudayaan Bacson-Hoabinh
pada Kebudayaan Indonesia
Pengaruh budaya Bacson-Hoabinh
terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia merupakan
suatu budaya besar yang memiliki situs-situs temuan diseluruh daratan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Pengaruh utama budaya Hoabihn terhadap
perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan
tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh
ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari
batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai.
Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu
atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada
yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang
berbentuk berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian
besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang
lebih dekat dengan tempat asal budaya ini. Situs-situs Hoabihn di Sumatra
secara khusus banyak ditemukan di daerah pedalaman pantai Timur Laut Sumatra,
tepatnya sekitar 130 km antara Lhokseumawe dan Medan. Sebagian besar alat batu
yang ditemukan adalah alat batu kerakal yang diserpih pada satu sisi dengan
bentuk lonjong atau bulat telur. Dibandingkan dengan budaya Hoabihn yang
sesungguhnya, pembuatan alat batu yang ditemukan di Sumatra ini dibuat dengan
teknologi lebih sederhana. Ditinjau dari segi perekonomiannya, pendukung budaya
Hoabihn lebih menekankan pada aktivitas perburuan dan mengumpulkan makanan di
daerah sekitar pantai.
2. Kebudayaan Dongson
Makin meningkatnya kehidupan social
ekonomi manusia maka terjadi pula peningkatan bentuk kehidupan dari masa
sebelumnya. Peningkatan ini terutama dalam hal pengolahan logam, khususnya
perunggu dan besi. Dengan peningkatan tersebut dapat disimpulkan bahwa telah
terdapat kelompok masyarakat dengan pembagian kerja yang baik. Pembagian ini
tidak hanya meliputi pembuatan dari logam, tetapi juga dibidang-bidang lain.
Oleh karena itu masyarakat perundagian telah menampakkan ciri-ciri masyarakat
yang teratur. Zaman perundagian sering disebut zaman kemajuan tehnologi karena
pada masa itu tehnologi telah berkembang. Pembuatan alat dari logam sudah
mereka kuasai. Berikut tehnik pembuatan dari logam:
- Teknik Bivalve
Tehnik
bivalve atau tehnik setangkup adalah tehnik cetakan dengan menggunakan dua alat
cetak yang dijadikan satu dan dapat ditangkupkan. Alat cetak itu diberi lubang
pada bagian atasnya. Dari lubang itu dituangkan logam yang telah dicairkan.
Apabila cairan itu sudah dingin, cetakan dibuka. Selesailah pengerjaannya.
Cetakan setangkup ini dapat digunakan berkali-kali. Contoh dari hasil cetakan
ini adalah nekara.
- Tehnik cetakan lilin (A Cire Perdue)
Pembuatan
barang dengan tehnik a cire perdue dilakukan dengan membuat model dari lilin
terlebih dahulu. Lilin dibungkus dengan tanah liat dan bagian atasnya diberi lubang.
Tanah liat kemudian dibakar sehingga lilin akan mencair dan keluar dari lubang
yang telah dibuat. Tanah liat yang kosong tadi selanjutnya diisi dengan cairan
perunggu. Setelah dingin dan kental, tanah liat pembungkus tadi dihancurkan.
Cetakan ini hanya dapat dipakai sekali. Contoh dari hasil cetakan ini hanya
untuk mencetak benda-benda kecil (arca-arca kecil). Di Indonesia penggunaaan
logam untuk pembuatan peralatan hidup diketahui pada masa beberapa abad sebelum
masehi. Benda-benda perunggu yang ditemukan di Indonesia menunjukkan persamaan
dengan temuan-temuan di Dong Son Vietnam, baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal
ini menunjukkan adanya hubungan budaya yang berkembang di Dong Son dan
Indonesia.
Benda-benda
yang dihasilkan dari pengolahan logam pada zaman perundagian antara lain adalah
nekara perunggu, kapak perunggu, bejana perunggu, arca-arca perunggu, dan
perhiasan. Adapun benda-benda dari besi antara lain mata kapak, mata
sabit, mata pisau, mata pedang, cangkul
dan tongkat.
Pada
zaman perundagian peranan perunggu dan besi sangat besar. Tetapi bukan berarti
menghapuskan pembuatan alat-alat dari tanah. Pembuatan gerabah justru mengalami
perkembangan.
http://ukasarosadyx-8.blogspot.com/2012/03/pengaruh-budaya-bacson-hoabin-dan.html
(31 Januari 2013, pukul
19.34)
Kebudayaan perunggu Asia Tenggara
disebut kebudayaan Dongson. Dongson
adalah nama di daerah Tonkin – Indocina. Di sinilah banyak ditemukan
benda-benda perunggu seperti nekara, alat dari besi dan bejana. Benda-benda ini
dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Deutero Melayu atau Melayu Muda. Mereka
masuk ke Indonesia kurang lebih tahun 500 SM melalui jalur barat. Benda-benda perunggu yang ditemukan di
Indonesia antara lain nekara, kapak corong, moko, manik-manik, bejana perunggu
dan arca perunggu.
Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dongson, sangat penting karena
benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia pada umumnya bercorak
Dongson, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India maupun Cina.
Budaya perunggu bergaya Dongson tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan
kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan
bahan-bahan yang digunakan. Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan budaya perunggu di Indonesia, bahkan tidak kurang dari 56 nekara
yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara
ditemukan di daerah pulau Sumatera, Jawa dan Maluku Selatan.
Dari uraian di atas jelas bahwa kebudayaan Bacson Hoabin dan budaya Dongson
ada hubungan erat dengan kebudayaan zaman Mesolitikum dan budaya perunggu di
Indonesia.
Kebudayaan Dongson diambil dari salah satu nama daerah di Tonkin.
Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson. Di
daerah ini ditemukan bermacam-macam alat yang dibuat dari perunggu. Di samping
itu juga ditemukan nekara dan kuburan. Bejana yang serupa dengan yang ditemukan
di Kerinci dan Madura juga ditemukan di sana, di daerah Tonkin itulah
kebudayaan perunggu berasal.
Pengolahan logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada
pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam
merupakan teknik yang tinggi.
Kenyataan tersebut menunjukkan kepada kita mengenai adanya hubungan erat
antara Indonesia dengan Tonkin, yaitu kebudayaan logam di Indonesia termasuk
kelompok kebudayaan logam di Asia yang berpusat di Dongson. Dari daerah inilah
datang kebudayaan logam secara bergelombang lewat jalur barat, yaitu Malaysia.
Pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia, juga pendukung kapak persegi.
Di Indonesia, penggunaan logam telah dilakukan sejak beberapa abad sebelum
Masehi, yaitu pada tahun 500 SM berupa hasil perunggu dan perhiasan perunggu,
sedangkan alat dari besi berupa mata kapak, mata pisau, mata pedang, dan
cangkul. Zaman perunggu di Indonesia masuk kebudayaan perundagian. Peranan
perunggu dan besi sangat besar terutama dalam penggunaan alat kehidupan.
Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya
perunggu di Nusantara. Nekara perunggu yang telah dibuat di Kepulauan Indonesia
seperti Sumatra, Jawa, dan Maluku Selatan sebagai salah satu bukti pengaruh
yang kuat dari budaya Dongson. Beberapa nekara yang ditemukan di Indonesia
mempunyai nilai yang penting, misalnya, di Makalaman dekat Sumba (berisi hiasan
gambar menyerupai pakaian Cina dari dinasti Han) dan nekara dari Kepulauan Kei,
Maluku (berisi hiasan lajur mendatar bergambar kijang). Berdasarkan kesimpulan
para ahli, ada kemungkinan daerah-daerah itu tidak membuatnya sendiri,
melainkan berasal dari Cina karena ada gaya hiasan model negeri Cina. Adapun
nekara yang ditemukan di daerah Sangeng dekat Sumbawa oleh Heine Geldern
mungkin berasal dari Funan.
Perkembangan budaya logam di Indonesia dapat diketahui dengan jelas adanya
pengaruh budaya Dongson yang menyebar ke seluruh Nusantara. Ada beberapa daerah
penting dalam perkembangan logam di Nusantara.
a. Budaya logam awal di Jawa
Di Pulau Jawa terdapat peninggalan logam pada tahap awal, berada di dalam
peti kubur batu (sarkofagus) di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Diperkirakan
sebagai bekal kubur yang berupa peralatan dari besi.
b.
Budaya
logam awal di Sumatra
Di Pasemah, Sumatra Barat, terdapat kubur batu yang dibekali manik-manik
kaca dan sejumlah benda logam berupa tombak besi dan peniti emas.
http://texbuk.blogspot.com/2011/06/penga…
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120422043358AA0QP4O (Kamis, 31 Januari 2013 pukul 19.44)
a. Sejarah Awal Kebudayaan Dongson
Kebudayaan Dongson merupakan kebudayaan perunggu yang ada di
Asia Tenggara. Daerah ini merupakan pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara.
Di daerah ini ditemukan segala macam alat-alat perunggu, alat-alat dari besi
serta kuburan dari masa itu. Dongson adalah nama daerah di Tonkin, merupakan tempat
penyelidikan yang pertama.
Diperkirakan kebudayaan
ini berlangsung pada tahun 1500 SM-500 SM. Bertempat di kawasan Sungai Ma,
Vietnam. Di daerah tersebut pada tahun 1920 ditemukan alat-alat perunggu
diperkirakan berkaitan dengan kebudayaan Yunan, sebelah barat daya Cina, dan
berbagai tempat di Indonesia. Meskipun benda-benda perunggu telah ada sebelum
tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan pangkal yang berongga
untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung tombak, sabit bercorong,
ujung tombok bertangkai, mata panah, dan benda-benda kecil lainnya.
Kebudayaan Dongson di Indonesia diwujudkan melalui berbagai
hasil kebudayaan perunggu, nekara, dan alat besi. Di Indonesia nekara ditemukan
di Selayar, Sulawesi Selatan. Di Bali ditemukan nekara yang terbesar yaitu di
daerah Pejeng. Nekara merupakan perlengkapan upacara persembahan yang dilakukan
masyarakat prasejarah, dimana pada nekara tersebut terdapat hiasan mengenai
sistem kehidupan dan kebudayaan saat itu. Moko (sejenis nekara yang bentuknya
lebih kecil) ditemukan di Pulau Alor. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan
Indonesia merupakan salah satu bagian dari kebudayaan perunggu di Asia
Tenggara.
Kurang lebih 56 Nekara
dapat ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di
Sumatera, Jawa, dan Maluku Selatan. Nekara yang penting ditemukan di
Indonesia adalah nekara Makalaman dari Pulau Sangeang dekat Sumbawa dengan
hiasan gambar orang-orang berseragam menyerupai pakaian dianasti Han (Cina)/
Kushan (India Utara)/ Satavahana (India Tengah). Selain nekara ditemukan
juga benda-benda perunggu lainnya seperti patung-patung, peralatan rumah
tangga, peralatan bertani maupun perhiasan-perhiasan.
Bagi Indonesia penemuan benda kebudayaan Dong Son sangat penting. Hal ini dikarenakan benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia pada umumnya bercorak Dong Son, bukan mendapat pengaruh budaya logam dari Cina maupun India. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dari bahan-bahan yang digunkan. Contoh: Nekara Tipe Heger I memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tua di Vietnam, dimana nekara ini memiliki lajur hiasan yang disusun mendatar bergambar manusia, hewan dan pola geometris. Dari penemuan benda budaya Dong Son diketahui cara pembuatannya dengan menggunakn teknik cetak lilin.
Masa ini telah terjadi tukar menukar dan perdagangan antar masyarakat dengan alat-alat gerabah dari perunggu sebagai komoditi barter. Selain itu, sebagai objek dari simbol kemewahan dan alat-alat sakti yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kebudayaan Dongson sampai ke Indonesia melalui jalur Barat yaitu Semenanjung Malaya. Pembawa kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia.
Bagi Indonesia penemuan benda kebudayaan Dong Son sangat penting. Hal ini dikarenakan benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia pada umumnya bercorak Dong Son, bukan mendapat pengaruh budaya logam dari Cina maupun India. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dari bahan-bahan yang digunkan. Contoh: Nekara Tipe Heger I memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tua di Vietnam, dimana nekara ini memiliki lajur hiasan yang disusun mendatar bergambar manusia, hewan dan pola geometris. Dari penemuan benda budaya Dong Son diketahui cara pembuatannya dengan menggunakn teknik cetak lilin.
Masa ini telah terjadi tukar menukar dan perdagangan antar masyarakat dengan alat-alat gerabah dari perunggu sebagai komoditi barter. Selain itu, sebagai objek dari simbol kemewahan dan alat-alat sakti yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kebudayaan Dongson sampai ke Indonesia melalui jalur Barat yaitu Semenanjung Malaya. Pembawa kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia.
Pendapat tentang kebudayaan Dongson, sampai kepulauan Indonesia terbagi dalam 2 tahap:
·
Zaman
Neolithikum, berlangsung kurang lebih sejak 2000 SM, merupakan zaman batu
tulis, zaman kebudayaan kapak persegi
·
Zaman
Perunggu, kurang lebih sejak 500 SM, merupakan kebudayaan kapak sepatu, nekara,
dan candrasa.
Penyebaran kebudayaan Dongson tersebut menyebabkan terbaginya kebudayaan di
Indonesia menjadi 2, yaitu:
·
Kebudayaan
Melayu Tua (Proto Melayu) di Masyarakat Dayak Pedalaman
·
Kebudayaan
Melayu Muda (Deutero Melayu) di masyarakat Bali Aga dan Lombok
http://pelajaranapa.blogspot.com/2011/03/kebudayaan-dongson.html (Kamis, 31 Jamuari 2013 pukul 19.57)
Kebudayaan Đông Sơn adalah kebudayaan
zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini
juga berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dari sekitar 1000 SM
sampai 1 SM.
Kebudayaan Dongson ini berawal dari
evolusi kebudayaan Austronesia. Asal usulnya sendiri telah dicar adalah bangsa
Yue-tche yang merupakan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China
sekitar abad ke-8 SM. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan
sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di
pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum
Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.
Pengaruh China yang berkembang pesat
juga ikut memengaruhi Kebudayaan Dongson terlebih lebih adanya ekspansi
penjajahan China yang mulai turun ke perbatasan-perbatasan Tonkin. Hal ini
dilihat dari motif-motif hiasan Dongson memberikan model benda-benda perunggu
China pada masa kerajaan-kerajaan Pendekar. Itulah sumber utama seni Dongson
yang berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun
111 SM.
Kebudayaan Dongson merupakan kebudayaan
perunggu yang ada di Asia Tenggara. Daerah ini merupakan pusat kebudayaan
perunggu di Asia Tenggara. Di daerah ini ditemukan segala macam alat-alat
perunggu, alat-alat dari besi serta kuburan dari masa itu. Daerah ini merupakan
tempat penyelidikan yang pertama. Diperkirakan kebudayaan ini berlangsung pada
tahun 1500 SM-500 SM. Bertempat di kawasan Sungai Ma, Vietnam.
Asia Tenggara biasa dinamakan
kebudayaan Dongson. Di daerah ini ditemukan bermacam-macam alat yang dibuat
dari perunggu. Di daerah Tonkin itulah kebudayaan perunggu berasal. Pengolahan
logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja
yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam merupakan teknik
yang tinggi.
Pendukung kebudayaan ini adalah bangsa
Austronesia, juga pendukung kapak persegi.
Pembuatan benda-benda perunggu di
daerah Vietnam Utara dimulai sekitar tahun 2500 SM dan dihubungkan dengan
tahap-tahap budaya Dongson dan Go Mun. Daerah Vietnam memiliki bukti paling awal
tentang pembuatan perunggu di Asia Tenggara. Kebudayaan ini dibawa oleh
masyarakat dari Dongson. Pengetahuan mengenai perkembangan kebudayaan logam ini
mulai banyak dikenal setelah Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan
Dongson (Vietnam) pada tahun 1924. Namun perlu diketahui bahwa benda-benda
perunggu yang telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong
merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan
ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, mata panah dan
benda-benda kecil lainnya seperti pisau, kail, gelang dan lain-lain.
b.
Perkembangan Kebudayaan Dongson ke Indonesia
Kebudayaan Dongson mulai berkembang di
Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian
periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju
Indonesia yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu sekitar 1000
SM sampai 1 SM.
Penemuan benda-benda dari kebudayaan
Dong Son sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah
Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam
dari India maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dong Son tersebar luas di
wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan
corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara, menunjukkan
pengaruh yang sangat kuat. Nekara dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan
nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya
yang berhasil ditemukan di daerah Dong Son serta beberapa kuburan seperti
daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar
berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat
dari besi, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dari penemuan benda-benda
budaya Dong Son itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik
cetak lilin hilang yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin
itu di balut dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat
tersebut.
Budaya Dong Son sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tidak
kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan
terbanyak nekara ditemukan di Sumatera, Jawa, Maluku Selatan. Nekara yang
penting ditemukan di wilayah Indonesia dari pulau Sangeang dekat Sumbawa yang
berisi hiasan gambar orang yang menyerupai pakaian dinasti Han. Hiasan seperti
itu diperkirakan belum dikenal oleh penduduk pulau tempat nekara tersebut
ditemukan. Heine Goldem meneliti nekara yang ditemukan dan menyatakan bahwa
nekara yang ditemukan di daerah Sangeang diperkirakan diceak di daerah funan
yang telah terpengaruh oleh budaya india pada 250 SM. Pengamatan menarik dari
Berner Kempres menunjukkan bahwa semua nekara yang ditemukan di Bali memliki 4
patung katak pada bagian pukulnya. Selain itu pola-pola hiasan nekara tersebut
tidak begitu terpadu antara gambar satu dengan yang lainnya. Berners kempers memberikan gambaran cara nekara tipe heger I di cetak secara
utuh. Awalnya lembaran lilin ditempelkan pada inti tanah liat (menyerupai
bentuk nekara dan berfungsi sebagai cetakan bagian dalam), lalu di hias dengan
cap-cap dari tanah liat atau batu yang berpola hias perahu dan iring-iringan
manusia. Untuk menambah hiasan yang lebih naturalistik, seperti gambar rumah,
lembaran lilin tadi langsung ditambah goresan gambar yang dikehendakinya.
Kemudian lembaran lilin yang telah di hias itu ditutup dengan tanah liat yang
barfungsi sebagai cetakan bagian luar, setelah terlebih dahulu diberi paku-paku
penjaga jarak. Setelah itu di bakar dan lilin meleleh keluar rongga yang di
tinggalkan lilin tersebut diisi dengan cairan logam. Selain nekara, di wilayah
Indonesia juga ditemukan benda-benda perunggu lainnya seperti patung-patung,
peralatan rumah tangga, peralatan bertani maupun perhiasan-perhiasan.
c.
Kesenian Kebudayaan Dongson
Benda-benda arkeologi dari Dongson
sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal
tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan
bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan.
Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata
bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian
gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang,
perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari
kaca dan lain-lain. Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan.
Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa
jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang
bersinggungan.
Karya yang terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara Ngoc-lu yang kini disimpan di Museum Hanoi, serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson.
Karya yang terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara Ngoc-lu yang kini disimpan di Museum Hanoi, serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson.
d.
Agama dan Kepercayaan Kebudayaan Dongson
Dari motif-motif yang dijumpai pada
nekara yang sering disebut-sebut sebagai nekara hujan, ditampilkan dukun-dukun
atau syaman-syaman yang kadang-kadang menyamar sebagai binatang bertanduk,
menunjukkan pengaruh China atau lebih jauhnya pengaruh masyarakat kawasan
stepa. Jika bentuk ini disimbolkan sebagai perburuan, maka ada lagi simbol yang
menunujukkan kegiatan pertanian yakni mataharidan katak (simbol air).
Sebenarnya, nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan
mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi
petir yang berkaitan dengan datangnya hujan.
Pada nekara-nekara tersebut, yang
seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang
yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi
menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak
di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat
lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin sejak periode itu
hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson
merupakan pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke
kerajaan orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan.
Lagipula nekara-nekara tersebut sendiri
didapatkan pada awal abad ke-19 masih digunakan untuk upacara ritual keagamaan.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada nekara tesebut digambarkan kehidupan
orang-orang Dongson mulai perburuan, pertanian hingga kematian.
Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang mungkin diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan pengaruh Yunani tentang kehidupan alam baka, meski sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi.
Makam yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai akhir kebudayaan Dongson.
Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang mungkin diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan pengaruh Yunani tentang kehidupan alam baka, meski sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi.
Makam yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai akhir kebudayaan Dongson.
e. Penyebaran Kebudayaan Dongson
Kebudayaan Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan karya-karya budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di bagian selatan Semenanjung Indochina (Samrong, Battambang di Kamboja) hingga Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga Nusantara (Indonesia).
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan Dongson (Kams, 31 Januari 2013 pukul 19.37)
f. Kesenian
Dongson
Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka
ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak
dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual
yang sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan
selongsong, ujung tombak,
pisau belati, mata bajak, topangan berkaki
tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah
tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk
gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda
tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri
dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan
spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Karya yang terkenal
adalah nekara
besar diantaranya nekara Ngoc-lu yang kini disimpan di Museum Hanoi, serta
patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan
terakhir masa Dongson.
g.
Peninggalan Kebudayaan Dongson
1.
Nekara Perunggu
Nekara
adalah benda yang terbuat dari perunggu berbentuk seperti dandang yang
terlungkup atau semacam kerumbung yang berpinggang pada bagian tengah nya dan
bagian atasnya tertutup. Di bagian dinding nekar terdapat berrbagai hiasan,
seperti garis-garis lurusa dan bengkok, pilin-pilin, bintang, rumah, perahu,
dan pemandangan-pemandangan seperti lukisan orang berburu dan orang-orang yang
sedang melakukan upacara tari. Nekara perunggu banyak di temukan di Bali, Pulau
Sengean dekat Sumba, Pulau Selayar, Sumatra, Roti, Leti, Alor (Nusa Tebggara
Timur), dan Kepulauan Kei. Bentuk nekara di Indonesia Timur umumnya lebih besar
di bandingkan nekara yang di temukan di Indonesia Barat, seperti Jawa dan Sumatra. Orang Alor menyebut jenis nekara yang lebih
kecil ukuran nya dengan nama Moko. Menurut penelitian nekara hanya digunakan
pada saat upacara-upacara ritual.
2.
Bejana Perunggu
Bejana
perunggu berbentuk seperti periuk tetapi Langsing dan Gepeng. Bejana di temukan
di Kerinci (Sumatra Barat) dan Madura. Keduanya memiliki hiasan ukiran yang
serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin mirip
huruf “j”. Bejana yang di temukan di madura terdapat pula gambar
merak dan rusa dalam Kotak Segi Tiga. Tidak diketahui secara pasti fungsi benda
ini.
3.
Arca Perunggu
Bentuk arca (patung) beraneka ragam,
seperti menggambarkan orang sedang menari, naik kuda, dan memegang busur panah.
Daerah-daerah tempat penemuan arca seperti di daerah Bangkina (Riau), Lumajang,
Bogor dan Palembang.
4.
Kapak Corong
Kapak
sepatu atau kapak corong adalah kapak yang terbuat dari perunggu yang bagian
atas nya berbentuk corong. Kapak corong di sebut juga kapak sepatu karena
bagian bentuk corong nya dipakai untuk tempat tangkai kayu yang bentuknya menyiku
seperti bentuk kaki. Kapak corong banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa,
Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, dan Daerah sekitar
Danau Sentani, Papua. Jenis kapak corong bermacam-macam. Ada yang kecil dan
bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, ada yang
bulat, dan ada yang panjang suatu sisinya. Kapak corong yang panjang suatu
sisinya di sebut candras. Tidak semua kapak tersebut di gunakan sebagai
perkakas, tetapi ada juga yang di gunakan sebagai tanda kebesaran dan alat
upacara.
5. Perhiasan Perunggu
Perhiasan perunggu, antara lain
berbentuk gelang, kalung, anting-anting, dan cincin. Pada umumnya ,
barang-barang perhiasan tersebut tidak diberi hiasan ukiran. Peninggalan ini
banyak di temukan, antara lain di Anyer (Banten),Plawangan dekat Rembang (Jawa
Tengah) Gilimanuk (Bali),dan Malelo(Sumba). http://budhiwoodcutter.blogspot.com/2012/04/perkembangan-kebudayaan-bacson-hoabinh.html/(31 Januari 2013, pukul 19.32)
3.
Kebudayaan Sa Huynh
Para Imigran Austronesia telah bermukim di
Vietnam Selatan kira-kira 1500 SM.Mereka mengembangkan sebuah kebudayaan yang
biasa dinamai dengan nama desa dimana situs pertama ditemukan.Orang-orang
Austronesia ini selama berabad-abad telah melakukan kontak budaya dengan Ban
Kao dan DongSon.Teknik pertanian dan metalurgi yang berkembang di Thailand
Tengah dan Vietnam Utara mempengaruhi kebudayaan mereka juga.Situs-situs Sa Huynh
tersebar luas di sepanjang pantai Vietnam Selatan sampai pada delta sungai
Mekong.Ada dua fakta yang pantas untuk dicatat terkait hubungan kultural Sa
Huynh dengan para tetangga Indo-Chinanya:
1.
Sangat
sedikit artefak DongSon di situs-situs Sa Huynh.
2.
Situs-situs
ini lebih banyak menghadirkan artefak-artefak besi daripada perunggu.
Sebaliknya DongSon lebih banyak
menghasilkan artefak-artefak perunggu daripada besi.Dari ini bisa disimpulkan
orang-orang Sa Huynh mungkin lebih banyak hubungan komersial dengan komunitas
Thailand Tengah daripada dengan orang-orang DongSon.Mengikuti pencaplokan
Tonkin oleh dinasti Han,Vietnam Tengah sejenak berada di bawah kendali
China.Wilayah-wilayah utara Vietnam yang telah takluk dijadikan salah satu
propinsi bernama Rinan.Akhirnya pada tahun 192 M,terjadi pemberontakan,yang
berhasil mendirikan sebuah pemerintahan Sa Huynh yang merdeka di sebelah
selatan Rinan yang disebut sebagai Lin Yi oleh orang-orang China.Selama
berjalannya waktu,Lin Yi mengembangkan pengaruhnya sampai ke arah selatan dan
timur pantai-pantai Vietnam Tengah.Kebudayaan asli Sa Huynh bertahan hingga
awal millenium pertama M,saat kemudian kebudayaan ini cenderung berkiblat ke
India melalui pengaruh Funan dan kemudian dikenal sebagai Champa(Cham).
Jadi disini ada dua difusi kebudayaan
paleometalik ke kepulauan Indo-Melayu: apakah itu berasal dari Vietnam
Utara(DongSon) atau Thailand Tengah(melalui Sa Huynh).Karena pertukaran
kultural dan komersial di kepulauan itu hanya bisa dilakukan melalui laut,dan
karena tidak seperti orang-orang Austronesia,belum pernah ada bukti apapun
bahwa orang-orang Viet adalah para pelaut ulung,maka kesimpulannya para pelaut
Austronesia lah yang mungkin lebih berperan sebagia vektor/perantara bagi
kerajinan-kerajinan baru itu.Hubungan-hubungan yang kelihatannya tidak erat
antara Sa Huynh dan DongSon menimbulkan teori bahwa ada lebih banyak pertukaran
antara komunitas Austronesia Sa Huynh dengan Thailand Tengah daripada dengan
Vietnam Utara.Kelihatannya juga kerajinan paleometalik terdifusi dari Thailand
Tengah,baik sepanjang pantai semenanjung Melayu ke Sumatera dan Jawa atau
langsung dari pusat-pusat Sa Huynh melalui jaringan komersial Laut China
Selatan.Sedangkan difusi barang-barang perunggu DongSon dimungkinkan melalui
jalur perdagangan khusus.Barang-barang ini telah menjadi barang berstatus atau
barang mewah,langka yang tidak sembarangan orang mampu memilikinya.Bagi para
pemimpin Austronesia kepemilikan sebuah benda bernilai seni tinggi adalah
pertanda yang nyata bagi status sosial mereka,dan itu diwakili oleh
barang-barang kerajinan DongSon yang paling indah dan langka.Barang status
DongSon yang paling terkenal adalah kuali-kuali perunggu.
•
Kebudayaan
Sa Huynh diperkirakan berlangsung tahun 600 SM-1 M.
Pada dasarnya merupakan kebudayaan yang mirip dengan Kebudayaan Dongson. Karena peralatan yang banyak dipakai dalam kebudayaan Sa Huynh adalah dari kebudayaan Dong Son.
Pada dasarnya merupakan kebudayaan yang mirip dengan Kebudayaan Dongson. Karena peralatan yang banyak dipakai dalam kebudayaan Sa Huynh adalah dari kebudayaan Dong Son.
•
Budaya
Sa Huynh ditemukan di kawasan pantai Vietnam Tengah ke Selatan sampai lembah
sungai Mekong.
•
Budaya
Sa Huynh ada di Vietnam bagian Selatan didukung oleh suatu kelompok penduduk
yang berbahasa Austronesia (Cham) yang diperkirakan berasal dari kepulauan
Indonesia.
•
Orang-orang
Cham pernah mengembangkan peradaban yang dipengaruhi oleh budaya India Champa
tetapi akhirnya dikalahkan oleh penduduk Vietnam sekarang yang hanya merupakan
kelompok minoritas hingga sekarang.
•
Orang-orang
Cham merupakan kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Austronesia dan
mempunyai kedekatan kebangsaan dengan masyarakat yang tinggal di kepulauan
Indonesia.
•
Kebudayaan
Sa Huynh diketahui melalui penemuan kubur tempayan (jenazah dimasukkan ke dalam
tempayan besar). Penguburan tersebut adalah adat kebiasan yang dibawa oleh
orang-orang Cham ke kepulauan Indonesia sebab penguburan dengan cara ini bukan
merupakan budaya Dong Son maupun budaya yang lain.
•
Kebudayaan
dalam bentuk tempayan kubur yang ditemukan di Sa Huynh memiliki persamaan
dengan tempayan kubur yang ditemukan di Laut Sulawesi.
•
Kebudayaan
Sa Huynh yang ditemukan meliputi berbagai alat yang bertangkai corong seperti
sikap, tembilang, dan kapak. Namun ada pula yang tidak bercorong seperti sabit,
pisau bertangkai, kumparan tenun, cincin, dan gelang berbentuk spiral.
•
Teknologi
pembutan peralatan besi yang diperkenalkan ke daerah Sa Huynh berasal dari
daerah Cina. Benda perunggu yang ditemukan di daerah Sa Huynh berupa beberapa
perhiasan, seperti gelang , lonceng, dan bejana-bejana kecil. Ditemukan pula
manik-manik emas yang langka dan kawat perak serta manik-manik kaca dari batu
agate bergaris dan berbagai manik-manik Carnelian (bundar, berbentuk cerutu).
Ditemukan alat-alat dari perunggu seperti bejana kecil, selain itu terdapat
gelang-gelang dan perhiasan-perhiasan
•
Meskipun
hubungan langsung dengan pusat-pusat pembuatan benda-benda perunggu di daerah
Dong Son sangat terbatas terbukti dengan penemuan 7 buah nekara tipe Heger I di
daerah Selatan Vietnam dari 130 nekara yang berhasil ditemukan hingga tahun
1990.
•
Benda-benda
perunggu yang tersebar ke wilayah Indonesia melalui 2 jalur, yaitu:
a. Jalur darat: Muangthai dan Malaysia terus ke kepulauan Indonesia
a. Jalur darat: Muangthai dan Malaysia terus ke kepulauan Indonesia
b.
Jalur
laut : Menyeberang lautan dan terus tersebar di daerah kepulauan Indonesia
http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=AnM9NAMHT9tZXupdf2TRq0rJRAx.;_ylv=3?qid=20120527235255AAjNmpC (Kamis, 31 Januari 2013, pukul 19.44)
Terima kasih atas artikelnya. Lebih lengkap daripada yang dibutuhkan. Izin menyalin. Terima kasih.
BalasHapusmakasih artikelnya, sangat membantu buat tugas sekolah
BalasHapusSaya mau tanya kalau bukti bahwa Sampung mendapat pengaruh peradaban asia daratan itu apa ya? Terimakasih.
BalasHapusSaya mau dong kesimpulan dari artikel diatas adalah
BalasHapusSaya mau dong kesimpulan dari artikel diatas adalah
BalasHapusTerimah kasih karena telah membuat artikel ini.
BalasHapusterimaaaaaa kasihh banyakk udah bikin artikel inii, keren banget sukses selaluuu GBU
BalasHapus